Industri smartphone flagship Android tengah menghadapi ketidakpastian besar setelah ARM, perusahaan raksasa asal Inggris yang menjadi pemilik arsitektur mikroprosesor ARM, mencabut lisensi dari Qualcomm. Keputusan ini terutama menimbulkan masalah serius bagi Qualcomm yang baru saja memperkenalkan Snapdragon 8 Elite—chipset teranyar dengan teknologi tinggi yang diharapkan menjadi andalan di ponsel flagship. Snapdragon 8 Elite, dengan CPU Oryon generasi kedua yang dibangun pada fabrikasi 3 nanometer, siap membawa lonjakan performa dan efisiensi daya untuk berbagai ponsel premium dari merek seperti Samsung, Xiaomi, Oppo, hingga Vivo. Namun, perselisihan ini mengancam kelangsungan Snapdragon 8 Elite serta beberapa produk chip Qualcomm lainnya.
Ketegangan ini bermula dari akuisisi Qualcomm terhadap Nuvia pada tahun 2021. Saat masih menjadi perusahaan independen, Nuvia memegang lisensi ARM khusus untuk CPU server. Setelah akuisisi, Qualcomm mengadaptasi lisensi tersebut untuk mengembangkan CPU Oryon, yang menjadi inti dari Snapdragon 8 Elite. ARM menilai tindakan ini sebagai pelanggaran lisensi, mengingat lisensi CPU server yang dipegang Nuvia berbeda dengan lisensi untuk CPU mobile. Perselisihan tersebut akhirnya sampai di meja hijau, di mana ARM menggugat Qualcomm dan mencabut lisensi Nuvia pada awal 2023.
Dampaknya, Qualcomm kini terancam kehilangan hak untuk menggunakan arsitektur ARM dalam pengembangan CPU Oryon untuk Snapdragon 8 Elite. Ini menimbulkan keraguan besar di kalangan produsen ponsel flagship yang berharap mengintegrasikan Snapdragon 8 Elite dalam perangkat mereka yang akan dirilis pada 2024 dan 2025. Snapdragon 8 Elite memiliki konfigurasi 8 inti yang mencakup 2 inti utama berkecepatan hingga 4,32 GHz dan 6 inti kinerja berkecepatan 3,53 GHz, serta dukungan untuk RAM LPDDR5X hingga 5.300MHz, menjadikannya prosesor yang sangat kompetitif. Namun, tanpa akses ke arsitektur ARM, Qualcomm berpotensi mengalami keterbatasan dalam menghadirkan Snapdragon 8 Elite.
Jika Qualcomm tidak dapat mencapai kesepakatan baru dengan ARM dalam 60 hari ke depan, ada kemungkinan mereka harus menunda atau bahkan menghentikan pengembangan Snapdragon 8 Elite. Skenario ini akan memaksa produsen ponsel flagship untuk mempertimbangkan pilihan lain dalam memilih chipset, sebuah kondisi yang bisa memperlambat proses peluncuran smartphone flagship yang dijadwalkan akan menggunakan Snapdragon 8 Elite.
Dalam tanggapannya, Qualcomm menuduh ARM menggunakan “taktik putus asa” untuk mengacaukan proses hukum dan berusaha menaikkan tarif royalti di luar kesepakatan yang sudah ada. Qualcomm tetap optimis bahwa persidangan pada Desember 2024 akan berpihak pada mereka, namun jika tidak, Qualcomm mungkin harus mulai memikirkan arsitektur baru yang tidak bergantung pada ARM. Membangun arsitektur baru akan menjadi tantangan besar yang memerlukan investasi waktu dan sumber daya yang tidak sedikit.
Bagi pesaing seperti MediaTek, situasi ini membuka peluang besar untuk menembus pasar chipset flagship. Dengan reputasi Qualcomm yang goyah akibat ketidakpastian ini, MediaTek dapat mencoba menarik produsen ponsel dengan menawarkan chipset yang mampu bersaing secara performa maupun harga. Di sisi lain, situasi ini juga menambah tekanan pada Qualcomm untuk segera menyelesaikan sengketa dengan ARM agar tidak kehilangan pijakan di pasar chipset flagship Android yang selama ini mereka dominasi.
Di tengah ketidakpastian ini, banyak pihak memantau perkembangan Qualcomm dan ARM dengan seksama, berharap adanya solusi yang dapat memulihkan stabilitas industri smartphone flagship. Qualcomm menghadapi risiko besar, tetapi juga peluang untuk berinovasi lebih jauh, sehingga hasil dari persidangan mendatang dapat menjadi penentu arah baru bagi perkembangan teknologi chipset dan persaingan di industri ponsel premium.