Perkembangan kecerdasan buatan (AI), khususnya chatbot berbasis teknologi generatif seperti ChatGPT, telah membawa dampak besar bagi berbagai industri, termasuk sektor pendidikan. Salah satu yang terkena dampaknya adalah perusahaan bimbingan belajar (bimbel) online asal Amerika Serikat, Chegg, yang harus menghadapi kenyataan pahit dengan bangkrutnya bisnisnya setelah pelanggan beralih ke layanan berbasis AI, seperti ChatGPT.
Chegg, yang didirikan pada tahun 2006, dulunya menjadi andalan bagi pelajar di AS untuk mendapatkan bimbingan belajar secara online. Dengan biaya langganan sekitar $19,95 per bulan (sekitar Rp 314.536), pelanggan dapat mengakses jawaban soal-soal pelajaran serta berkonsultasi langsung dengan para ahli. Namun, sejak hadirnya ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI, Chegg mengalami penurunan drastis dalam jumlah pelanggan. Bahkan, sekitar setengah juta pelanggan memutuskan untuk berhenti berlangganan, beralih ke solusi berbasis AI yang lebih cepat dan murah.
Dampak Kehilangan Pelanggan dan Penurunan Saham
Akibat dari peralihan pelanggan tersebut, saham Chegg merosot tajam hingga anjlok 99 persen, dari harga tertinggi pada tahun 2021 sebesar $113,51 per lembar saham (sekitar Rp 1,7 juta) menjadi hanya $1,86 per lembar (sekitar Rp 29.315). Hal ini menunjukkan betapa besar dampak yang ditimbulkan oleh kehadiran ChatGPT, yang menawarkan solusi serupa dengan harga jauh lebih terjangkau dan akses yang lebih mudah.
Sementara itu, meski Chegg berusaha mengadaptasi AI ke platform-nya, upaya tersebut tidak mampu mengembalikan performa perusahaan seperti semula. CEO Chegg, Dan Rosensweig, yang memimpin perusahaan tersebut selama lebih dari satu dekade, mengundurkan diri pada Juni 2024 setelah melihat saham perusahaan jatuh. Posisinya digantikan oleh Nathan Schultz yang memutuskan untuk memangkas 441 karyawan dan melakukan ekspansi internasional, berharap dapat membawa Chegg ke pasar yang lebih luas.
Keengganan Mengakui Potensi ChatGPT
Pada awal kemunculannya, Chegg sempat meremehkan potensi ChatGPT. Bahkan, pada tahun 2022, sejumlah karyawan Chegg mengusulkan agar AI digunakan untuk menghasilkan jawaban otomatis, namun ide tersebut ditolak oleh eksekutif perusahaan. Chegg juga sempat menganggap ChatGPT sebagai ancaman yang tidak terlalu signifikan, karena chatbot ini cenderung memberikan jawaban yang ngawur atau tidak akurat. Namun, kenyataannya justru berbeda.
Beberapa bulan setelah ChatGPT dirilis, data internal Chegg menunjukkan bahwa semakin banyak siswa yang beralih menggunakan ChatGPT untuk membantu mereka dalam belajar. ChatGPT, dengan kemampuan teknologi GPT-4, mampu memberikan jawaban yang lebih akurat dan terstruktur dengan lebih baik dibandingkan layanan dari Chegg, yang melibatkan konsultasi langsung dengan pakar.
Kolaborasi yang Tidak Membuahkan Hasil
Melihat pergeseran ini, Rosensweig sempat bertemu dengan CEO OpenAI, Sam Altman, untuk menjajaki peluang kolaborasi. Hasilnya adalah lahirnya Cheggmate, sebuah layanan yang menggabungkan data soal-soal dari Chegg dengan teknologi GPT-4 milik OpenAI, yang memungkinkan pengguna mendapatkan jawaban atas soal mereka. Namun, sayangnya kolaborasi ini tidak membuahkan hasil yang signifikan. ChatGPT tetap menjadi pilihan utama bagi banyak pelajar karena kemudahan dan efektivitasnya.
Chegg kemudian bekerja sama dengan Scale AI untuk menciptakan berbagai sistem AI untuk berbagai bidang studi, namun upaya ini juga tidak berhasil mengembalikan daya tarik perusahaan. Situs web Chegg bahkan dibuat menyerupai ChatGPT, dengan menambahkan kolom yang memungkinkan pengguna mengajukan pertanyaan atau permintaan. Namun, pada akhirnya, Cheggmate, layanan hasil kolaborasi dengan OpenAI, terpaksa dihapus oleh manajemen baru di bawah kepemimpinan Nathan Schultz.
Perubahan Lanskap Pendidikan dengan AI
Keputusan Chegg untuk beralih dan berinovasi dengan menggunakan teknologi AI menjadi gambaran jelas bagaimana AI generatif seperti ChatGPT telah mengubah lanskap pendidikan dan bimbingan belajar. ChatGPT menawarkan solusi yang lebih efisien dan terjangkau bagi para pelajar, tanpa harus membayar biaya bulanan yang cukup tinggi untuk layanan bimbel online.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan semakin diterima dalam sektor pendidikan, dan semakin banyak platform pembelajaran yang mengintegrasikan teknologi AI untuk membantu siswa belajar dengan lebih baik. Meskipun demikian, Chegg dan perusahaan-perusahaan bimbingan belajar lainnya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus beradaptasi dengan cepat atau terancam tersingkir dari pasar.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Kasus Chegg mengajarkan banyak hal, salah satunya adalah pentingnya adaptasi dengan cepat terhadap perkembangan teknologi. Keengganan untuk mengakui potensi kecerdasan buatan pada awalnya justru membawa kerugian besar bagi Chegg. Oleh karena itu, perusahaan di sektor pendidikan maupun industri lainnya perlu selalu siap untuk berinovasi dan mengikuti perkembangan teknologi yang terus berubah. Selain itu, bisnis yang bergantung pada model tradisional mungkin perlu mempertimbangkan untuk mengintegrasikan teknologi AI guna tetap relevan dan kompetitif di pasar yang semakin digital.