Ketegangan antara Amerika Serikat dan China dalam industri semikonduktor kembali mencapai puncaknya. Setelah Washington membatasi ekspor chip canggih ke Beijing, kini giliran China yang melakukan serangan balik dengan menargetkan dua raksasa teknologi asal AS, yakni Nvidia dan Qualcomm. Langkah ini memperlihatkan bagaimana “perang chip” bukan sekadar isu ekonomi, melainkan perebutan kendali atas masa depan kecerdasan buatan (AI) dan kekuatan geopolitik dunia.
China Balas dengan Langkah Tegas
Melalui lembaga pengawas pasar, State Administration for Market Regulation (SAMR), pemerintah China resmi membuka penyelidikan terhadap Qualcomm dan Nvidia. Qualcomm dituding melanggar aturan pelaporan akuisisi Autotalks, perusahaan chip otomotif asal Israel, yang dianggap bisa memengaruhi persaingan pasar di China. Sementara itu, Nvidia diselidiki karena dugaan pelanggaran antimonopoli terkait akuisisinya atas Mellanox Technologies, perusahaan asal Israel yang diambil alih pada tahun 2020.
Langkah investigasi ini diiringi kebijakan tambahan dari Beijing yang memperketat impor chip buatan Nvidia. Bahkan, otoritas China menempatkan tim bea cukai tambahan di pelabuhan besar untuk memeriksa setiap pengiriman chip asal Amerika. Ini menjadi sinyal bahwa China ingin memastikan kendali penuh terhadap suplai teknologi strategis di dalam negeri.
Tak hanya itu, pemerintah China juga mendorong perusahaan lokal untuk mengurangi ketergantungan pada chip buatan AS. Chip seperti Nvidia H20 dan RTX Pro 6000D, yang dirancang khusus agar lolos pembatasan ekspor Amerika, kini turut menjadi sasaran pembatasan internal China. Pesan Beijing jelas: era ketergantungan terhadap teknologi Amerika harus diakhiri.
Qualcomm: Terpukul tapi Tetap Berusaha Bertahan
Bagi Qualcomm, ini bukan kali pertama berhadapan dengan kerasnya regulasi China. Pada tahun 2015, perusahaan asal San Diego ini pernah didenda 975 juta dolar AS atau sekitar Rp 15,5 triliun karena pelanggaran aturan persaingan usaha. Kemudian pada tahun 2018, akuisisi Qualcomm terhadap NXP Semiconductors juga ditahan oleh regulator China hingga akhirnya dibatalkan.
Meski kerap ditekan, Qualcomm masih memandang China sebagai pasar vital. Sekitar setengah pendapatan globalnya berasal dari Negeri Tirai Bambu. Bahkan, CEO Cristiano Amon secara rutin menghadiri forum bisnis yang diselenggarakan langsung oleh Presiden Xi Jinping. Hubungan diplomatis dan bisnis ini menunjukkan bahwa Qualcomm masih berusaha menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan tekanan politik yang semakin besar.
Akuisisi Autotalks yang kini dipermasalahkan merupakan strategi Qualcomm untuk memperkuat bisnis chip otomotif dan sistem komunikasi kendaraan. Di tengah lonjakan tren mobil otonom, langkah ini dinilai penting untuk memastikan dominasi Qualcomm tidak hanya di pasar smartphone, tapi juga di masa depan transportasi pintar.
Nvidia: Dominasi yang Kini Jadi Boomerang
Nvidia, yang kini menjadi simbol dominasi chip AI global, juga terkena imbas keras. Pemerintah China menuduh perusahaan tersebut melanggar hukum antimonopoli dalam akuisisi Mellanox Technologies. Investigasi lanjutan pun telah dimulai, dan hasil awal menunjukkan adanya indikasi pelanggaran yang serius.
China tampaknya semakin tidak nyaman dengan ketergantungan terhadap chip AI Nvidia, terutama karena pembatasan ekspor dari AS sejak 2022 telah menghambat akses mereka terhadap chip kelas atas seperti A100 dan H100. Akibatnya, Nvidia merilis versi khusus untuk China, seperti H20, namun kini versi ini pun mulai ditolak oleh pasar dalam negeri karena tekanan pemerintah.
Langkah China ini bukan hanya pembalasan, tapi juga strategi jangka panjang. Pemerintah tengah memperkuat industri semikonduktor lokal melalui investasi besar-besaran pada perusahaan seperti Huawei HiSilicon, SMIC, dan Cambricon. Tujuannya sederhana: menciptakan rantai pasok chip yang mandiri dan tidak dapat diguncang oleh embargo Barat.
Pukulan Ekonomi dan Politik ke Amerika Serikat
Serangan China terhadap dua raksasa chip AS ini bukanlah langkah terisolasi. Dalam dua hari terakhir, Beijing juga memberlakukan biaya tambahan untuk kapal berbendera Amerika yang berlabuh di pelabuhan China. Kebijakan ini jelas ditujukan sebagai balasan terhadap keputusan Washington yang lebih dulu mengenakan tarif tinggi pada kapal China.
Selain itu, China juga mewajibkan izin ekspor untuk bahan baku semikonduktor dan baterai litium, yang menjadi komponen penting dalam rantai pasok global. Kebijakan ini berpotensi memperlambat industri teknologi Amerika yang sangat bergantung pada material asal China. Dengan cara ini, Beijing menggunakan “senjata ekonomi” yang sama kuatnya dengan sanksi teknologi Amerika.
Implikasi Global: Perang Chip Masuki Babak Baru
Pertarungan antara AS dan China kini telah memasuki fase yang lebih dalam. Tidak hanya sekadar saling menekan lewat tarif dan sanksi, namun sudah menyentuh level pengawasan hukum, ekspor bahan mentah, hingga strategi manufaktur dalam negeri. Dunia teknologi pun kini terjebak di antara dua kekuatan besar yang sama-sama ingin menjadi penguasa masa depan AI.
Dalam jangka panjang, konflik ini dapat memicu fragmentasi industri semikonduktor global, di mana pasar terbagi menjadi dua kubu besar: blok AS dan sekutunya, serta blok China dengan ekosistemnya sendiri. Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dunia akan menyaksikan dua standar teknologi berbeda, dari chip hingga sistem AI yang berjalan di atasnya.
Namun satu hal yang pasti: perang chip bukan sekadar soal bisnis, melainkan perebutan kekuasaan digital dunia. Dan dalam peperangan ini, baik AS maupun China tahu bahwa siapa yang menguasai chip, akan menguasai masa depan.