Pernahkah kamu mendengar cerita tentang anjing yang menggonggong tanpa henti sebelum gempa? Atau sekumpulan burung yang tiba-tiba terbang menjauh dari pantai beberapa jam sebelum tsunami menerjang? Fenomena semacam ini bukan cuma legenda warung kopi atau cerita turun-temurun. Bahkan, dalam sejarah dan penelitian modern, perilaku aneh hewan sebelum bencana alam menjadi topik serius yang terus dikaji.
Satu contoh paling menggemparkan terjadi saat tsunami Aceh tahun 2004. Di berbagai daerah yang terdampak, ada laporan tentang gajah yang panik dan berlari menuju dataran tinggi, burung-burung yang meninggalkan sarangnya, dan anjing yang menolak keluar rumah. Fenomena serupa juga terjadi di Thailand, tepatnya di Bang Koey, di mana kerbau-kerbau terlihat berlarian ke atas bukit sesaat sebelum gelombang tsunami menghantam.
Hal ini bukan peristiwa satu kali. Dalam letusan gunung api di Tonga Januari 2025, sekawanan anak kura-kura yang baru dilepas ke laut tiba-tiba berbalik arah, kembali ke pantai. Dua hari kemudian, gunung api meletus hebat. Di Indonesia, pada gempa Mentawai tahun 2010, berbagai hewan liar dan ternak juga terlihat gelisah dan berpindah tempat secara tidak biasa.
Ternyata, fenomena seperti ini juga tercatat dalam sejarah kuno. Di tahun 373 SM, sejarawan Yunani Thucydides menulis tentang tikus, ular, musang, dan anjing yang meninggalkan kota Helice sebelum kota itu dilanda gempa. Di era modern, sebelum gempa San Francisco 1906, kuda-kuda dilaporkan melompat ketakutan tanpa alasan jelas. Bahkan, di Italia sebelum gempa Naples 1805, suara keras dan serentak dari lembu, domba, anjing, hingga angsa menandai kegelisahan yang tidak biasa.
Apa yang sebenarnya membuat hewan-hewan ini bereaksi seperti itu? Apakah mereka punya radar bencana alam alami?
Menurut Dr. Drh. Heri Setijanto, dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB, kemampuan hewan dalam mendeteksi bencana berakar dari ketajaman indera biologis yang jauh melebihi manusia. Ia menjelaskan bahwa sistem sensoris hewan mencakup hal-hal berikut:
1. Ketajaman Pancaindra
Hewan memiliki keunggulan sensoris yang jauh lebih sensitif. Beberapa seperti kelelawar memiliki sistem biosonar untuk mendeteksi lingkungan sekitar, dan beberapa lainnya mampu merasakan gelombang elektromagnetik atau bahkan impuls listrik yang tidak bisa dirasakan manusia.
2. Reseptor Spesifik
Hewan memiliki berbagai reseptor khusus yang bisa menangkap sinyal dari lingkungan seperti:
- Chemoreceptors untuk mendeteksi zat kimia
- Mechanoreceptors untuk menangkap rangsangan sentuhan atau tekanan
- Thermoreceptors untuk merasakan perubahan suhu
- Nociceptors untuk mendeteksi rasa sakit
- Photoreceptors untuk menyerap cahaya
3. Pendengaran Frekuensi Ekstrem
Sementara manusia hanya bisa mendengar suara di rentang 20 Hz hingga 20.000 Hz, banyak hewan yang mampu menangkap suara hingga 150.000 Hz. Gelombang infrasonik, yang sering muncul saat gempa atau letusan gunung, bisa didengar oleh paus, merpati, bahkan buaya.
4. Sensitivitas terhadap Elektromagnetik
Beberapa hewan seperti hiu dan belut listrik memiliki sel khusus bernama elektroreseptor, memungkinkan mereka merasakan perubahan medan magnet di sekitar. Ketika bumi melepaskan energi sebelum gempa atau letusan, medan ini bisa berubah drastis dan terdeteksi oleh hewan.
Dengan semua kemampuan luar biasa itu, tak heran jika banyak hewan menunjukkan tanda-tanda aneh sebelum bencana alam terjadi. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua perilaku hewan yang aneh pasti menandakan bencana. Terkadang perubahan cuaca, getaran dari aktivitas manusia, atau gangguan lingkungan lain juga bisa memicu reaksi serupa.
Jadi, apakah hewan bisa dijadikan alat deteksi bencana?
Jawabannya masih dalam perdebatan. Di satu sisi, ada bukti kuat secara anekdotal dan historis. Di sisi lain, sains membutuhkan bukti yang lebih konsisten dan dapat diulang. Menurut Dr. Heri, meskipun tanda-tanda itu nyata, masih dibutuhkan riset lebih lanjut untuk memahami hubungan antara perilaku hewan dan potensi bencana secara ilmiah.
Namun satu hal yang pasti, ketika binatang bertingkah aneh secara massal, mungkin sudah waktunya kita ikut waspada. Alam punya cara sendiri untuk berbicara, dan hewan bisa jadi juru bicara pertamanya.