Gerakan Stop Killing Games akhirnya mendapatkan titik terang di panggung politik Eropa. Setelah melewati batas 1 juta tanda tangan yang dibutuhkan untuk EU Citizen’s Initiative, kini gerakan tersebut mendapat dukungan terbuka dari Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa, Nicolae Ștefănuță, yang juga merupakan anggota parlemen dari kelompok Greens/EFA asal Rumania.
Dalam pernyataan publiknya di Instagram, Ștefănuță menegaskan komitmennya terhadap gerakan ini. Ia berkata, “Saya mendukung orang-orang yang memulai inisiatif warga ini. Saya sudah menandatangani dan akan terus membantu mereka. Sebuah game, setelah dijual, adalah milik pelanggan, bukan perusahaan.”
Pernyataan tersebut kemudian disebarluaskan kembali oleh akun resmi Stop Killing Games di X (dulu Twitter), dan langsung menjadi bahan perbincangan komunitas gamer serta pegiat hak digital di seluruh Eropa.
Gerakan ini awalnya diinisiasi oleh Ross Scott, kreator di balik channel YouTube Accursed Farms. Scott dan timnya menyoroti praktik tidak adil dari sejumlah publisher game yang mematikan server atau menghapus akses terhadap game digital yang sudah dibeli pelanggan. Menurut mereka, ini adalah bentuk penghilangan paksa terhadap produk yang seharusnya menjadi milik konsumen.
Stop Killing Games menuntut agar developer dan publisher diwajibkan meninggalkan game dalam kondisi dapat dimainkan, bahkan setelah layanan resmi dihentikan. Solusi yang diajukan antara lain adalah mengizinkan hosting server pribadi untuk game multiplayer atau menyediakan mode offline yang tetap fungsional.
Dengan perolehan tanda tangan yang kini menembus 1.358.605, atau 35% lebih banyak dari batas minimum, gerakan ini berpotensi masuk dalam agenda diskusi resmi di parlemen Uni Eropa. Dukungan dari pejabat setingkat Wakil Presiden menjadi batu loncatan besar bagi gerakan ini, karena memberikan legitimasi politik sekaligus membuka peluang dukungan lanjutan dari anggota parlemen lainnya.
Ross Scott menyatakan bahwa Uni Eropa dipilih sebagai medan utama karena memiliki reputasi kuat dalam melindungi hak konsumen. Ia menyebut bahwa video game bisa jadi isu yang tergolong “mudah menang” bagi politisi, karena sifatnya yang tidak kontroversial secara ideologis namun mampu menarik perhatian dan simpati publik, terutama dari kalangan muda.
Isu ini juga mengangkat kembali perdebatan lama tentang kepemilikan digital. Jika seseorang membeli game di platform digital, apakah benar mereka memilikinya? Atau sekadar menyewa lisensi yang bisa dicabut kapan saja?
Dengan semakin banyak game yang hanya tersedia secara online, dan dengan praktik delisting atau shutdown server yang semakin lazim, masa depan kepemilikan digital menjadi kabur. Stop Killing Games hadir sebagai jawaban dari keresahan tersebut.
Langkah selanjutnya adalah menunggu bagaimana tanggapan institusi Uni Eropa terhadap inisiatif ini setelah batas akhir tanda tangan pada 31 Juli. Jika berhasil, gerakan ini bisa jadi preseden besar dalam perlindungan hak digital konsumen di seluruh dunia.