Bayangkan sebuah dunia digital tanpa simbol “@”. Aneh, bukan? Di era di mana alamat e-mail menjadi identitas utama seseorang di jagat maya—baik untuk bekerja, belanja online, hingga daftar media sosial—tanda “@” nyaris tak terpisahkan dari kehidupan kita. Tapi siapa sangka, simbol yang kini begitu ikonik ini awalnya hanyalah karakter sepi peminat di papan ketik. Lalu bagaimana ia bisa naik pangkat jadi pilar komunikasi digital global?
Dari Proyek Pemerintah ke Sejarah Dunia Digital
Kisah ini berawal pada awal 1970-an, ketika internet belum lahir, namun ARPANET- proyek milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat – mulai menggagas jaringan komputer pertama di dunia. Di tengah proyek ini, seorang insinyur jenius bernama Ray Tomlinson dari BBN Technologies mendapat misi: buatlah cara untuk mengirim pesan antar komputer yang berbeda.
Masalahnya? Ia butuh sistem alamat yang bisa membedakan siapa yang menerima pesan, dan di komputer mana pesan itu dituju. Dengan kata lain, ia harus menemukan karakter pemisah antara nama pengguna dan nama mesin. Tapi… itu bukan perkara mudah.
Mencari Simbol “Pengangguran” di Keyboard
Bayangkan kamu berada di depan keyboard tahun 70-an, dan diberi tugas mencari karakter yang tidak digunakan di nama file, perintah sistem, atau fungsi lainnya. Titik? Sudah dipakai untuk ekstensi file. Koma? Terlalu umum. Garis miring? Sudah jadi bagian path direktori.
Tomlinson bahkan sempat melirik tanda sama dengan (=), tapi terlalu ambigu. Ia butuh simbol yang bersih dari makna teknis, netral, dan tidak menimbulkan konflik dalam sistem operasi. Maka, pandangannya jatuh pada simbol “@”.
Simbol ini nyaris tak pernah dipakai di dunia komputer saat itu. Secara semantik pun cocok dalam bahasa Inggris, “@” berarti “at” atau “di”, seperti dalam kalimat “5 items @ $1”. Jadi, menulis jane.doe@example.com bisa dibaca sebagai “Jane Doe di Example dot com”. Ringkas, jelas, dan intuitif.
“Simbol ‘@’ cocok secara semantik dan juga tidak memiliki arti lain di sistem komputer. Itu membuatnya kandidat sempurna,” – Ray Tomlinson
Satu Keputusan Kecil, Efeknya Global
Awalnya, sistem e-mail buatan Tomlinson hanya digunakan di jaringan internal lembaga riset. Tapi seiring waktu, ARPANET berkembang menjadi internet modern, dan format alamat dengan simbol “@” mulai diadopsi luas.
Saat layanan e-mail publik seperti Hotmail (1996), Yahoo Mail (1997), dan Gmail (2004) lahir, tak ada yang merasa perlu mengganti simbol tersebut. Format ini sudah solid. Bahkan protokol standar pengiriman e-mail, yaitu SMTP (Simple Mail Transfer Protocol), tetap mempertahankan struktur:
- Local part (sebelum @): nama pengguna
- @: simbol pemisah
- Domain part (setelah @): nama institusi/layanan
Simbol “@” bukan hanya bertahan ia justru tumbuh jadi ikon budaya digital. Dari e-mail ke media sosial, kini “@username” adalah cara kita menyebut, mencari, dan bahkan membangun identitas digital. Di Twitter (X), Instagram, Threads, hingga TikTok, simbol ini jadi bagian penting dalam berkomunikasi.
Dari Simbol Lembab ke Legenda Digital
Tidak ada yang menyangka bahwa simbol kecil yang dahulu hampir tidak pernah digunakan, kini hadir miliaran kali sehari dalam komunikasi manusia modern. Pilihan Tomlinson bukan hanya soal teknis itu adalah keputusan desain yang membentuk cara manusia berinteraksi di era internet.
Hari ini, ketika kamu menulis alamat e-mail, atau me-mention temanmu di media sosial, sempatkan untuk mengingat satu hal: di balik simbol kecil “@”, ada cerita besar tentang kejeniusan sederhana yang mengubah dunia.