Latar Belakang Kasus
Di Cimanggis, Kota Depok, muncul sebuah kasus penganiayaan yang mengguncang masyarakat setempat. Seorang pria berusia 25 tahun bernama Abraham dilaporkan menganiaya pacarnya, IN, setelah wanita itu menolak ajakannya untuk terlibat dalam penipuan online, yang sering disebut sebagai “love scamming.” Kasus ini menarik perhatian karena mencerminkan sisi gelap dari hubungan asmara, di mana cinta bisa berubah menjadi kekerasan dan manipulasi.
Pasangan muda ini mulai menjalin hubungan sejak Agustus 2024. Dalam kurun waktu tersebut, mereka tinggal bersama di sebuah kos, di mana kejahatan mulai terungkap. Abraham yang kemudian diketahui memiliki niatan jahat, berusaha memanfaatkan IN untuk kepentingan pribadi.
“Awalnya semuanya tampak normal, tapi semakin lama, perilakunya sangat terbuka. Dia menggunakan saya untuk meraih tujuannya,” ungkap IN dalam wawancara. Ketika dirinya merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan, ia berusaha untuk menolak permintaan tersebut.
Modus Operandi Pelaku
Abraham memiliki modus operandi yang cerdik dan berbahaya. Ia meminta IN untuk berpura-pura menjadi perempuan di aplikasi kencan, berupaya menarik perhatian pria-pria lain dengan harapan mendapatkan keuntungan finansial. “Saya dipaksa untuk berkenalan dengan pria lain dan membujuk mereka,” jelas IN, merinci pengalamannya yang mengerikan.
Dalam penipuan ini, Abraham tidak hanya menggunakan identitas IN, tetapi juga ikut berperan dalam skenario untuk mengecoh calon korban. “Dia bilang bahwa itu semua hanya untuk mencari uang cepat dan sangat penting bagi kami,” tuturnya, merasa tertekan untuk memenuhi permintaan pacarnya.
Selama proses tersebut, Abraham berulang kali mengarahkan IN untuk membujuk lelaki yang ditemui di aplikasi untuk memberikan nomor PIN atau kode ATM. “Ketika kami berhasil, Abraham selalu mengambil uang dari ATM tersebut. Saya merasa terjebak dalam skenario yang sangat tidak sehat,” imbuh IN, menggambarkan betapa rentannya dirinya dalam situasi itu.
Akibat Penolakan yang Menyakitkan
Pada September 2025, setelah menyadari semua tindakan yang dilakukan oleh Abraham, IN akhirnya memberanikan diri untuk menolak ajakan pacarnya untuk terus bertindak sebagai penipu. Keputusan ini membawa konsekuensi yang sangat menyakitkan. Abraham, merasa frustrasi dengan penolakan tersebut, mulai menunjukkan sisi kekerasan dalam dirinya.
“Dia mulai memukul dan menendang saya. Saya merasakan kekuasaan yang sangat menakutkan,” jelas IN, menggambarkan momen saat ia mengalami penganiayaan. Rasa takutnya semakin meningkat setiap kali Abraham menunjukkan kemarahan. “Setiap kali saya berusaha untuk melawan atau berbicara, dia mengancam akan melakukan hal yang lebih buruk.”
Semakin lama, situasi ini menjadi semakin tidak terkendali. “Saya merasa seolah-olah tidak ada jalan keluar. Ketakutan mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari saya,” ungkapnya, hidup dalam tekanan yang berkepanjangan.
Pelaporan ke Pihak Berwajib
Setelah mengalami penganiayaan yang berulang kali, IN memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dengan melaporkan Abraham kepada pihak kepolisian. “Saya tidak bisa lagi diam. Ini sudah lebih dari sekadar hubungan yang buruk; ini adalah kekerasan,” tegasnya. Keluarganya juga mendukung keputusan tersebut, menyadari betapa berbahayanya situasi yang dihadapi IN.
Setelah laporan diterima, pihak kepolisian segera melakukan penyelidikan. “Kami menyadari bahwa ini adalah masalah serius dan tidak bisa dianggap remeh,” kata AKBP Putu Kholis, Wadirreskrimum Polda Metro Jaya. Penyelidikan mengungkap bahwa bukan hanya IN yang menjadi korban; masih ada perempuan lain, berinisial CYL, yang juga mengalami kekerasan oleh Abraham.
Dari hasil penyelidikan, terungkap bahwa Abraham telah menggunakan pola kekerasan yang sama terhadap korban lain sebelumnya. “Kami akan menindak tegas setiap pelaku kekerasan dalam hubungan, agar tidak ada lagi korban di masa depan,” tegasnya.
Tindakan Hukum yang Diambil
Berdasarkan pengakuan dan bukti-bukti yang ada, pihak kepolisian menjerat Abraham dengan Pasal 351 ayat 1 KUHP mengenai penganiayaan. Dalam kondisi ini, ancaman hukum untuk pelaku adalah penjara selama dua tahun dan delapan bulan. Keputusan ini menjadi langkah penting dalam memberikan keadilan bagi IN dan para korban lainnya.
“Setelah laporan saya diterima, saya merasa ada harapan. Saya tidak lagi merasa sendirian,” ungkap IN, mengekspresikan rasa lega yang menghampirinya setelah melaporkan pelaku. Selain itu, dalam wawancara tersebut, ia juga menyerukan perempuan lain untuk berani berbicara tentang pengalaman mereka.
Dari pengalamannya, IN berharap dapat memberikan inspirasi kepada perempuan lain yang mengalami situasi serupa. “Jangan pernah merasa terjebak. Kita semua berhak mendapatkan hubungan yang sehat dan tidak ada kekerasan,” tambahnya.
Dampak Psikologis bagi Korban
Meskipun tindakan hukum sudah diambil, dampak psikologis dari kekerasan tersebut tidak akan hilang dalam waktu dekat. IN mengalami trauma berat dan rasa cemas yang berkepanjangan. “Setiap kali saya berpikir tentang apa yang terjadi, rasa takut itu kembali muncul. Saya merasa kembali ke waktu yang penuh ketidakpastian,” ungkapnya, mewakili banyak korban lainnya.
“Kekerasan tidak hanya meninggalkan bekas secara fisik, tetapi juga emosional. Saya harus bekerja keras untuk memulihkan diri,” jelasnya, sambil mengenang proses panjang untuk menemukan kembali rasa aman dalam hidupnya.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memberikan dukungan kepada korban kekerasan. “Dukungan emosional sangat dibutuhkan. Kita tidak boleh mengabaikan keadaan mental para korban,” tambah seorang psikolog yang turut terlibat dalam penanganan kasus ini.
Kesadaran Masyarakat akan Kekerasan Dalam Hubungan
Kasus ini menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat mengenai kekerasan dalam hubungan. Banyak orang mungkin tidak menyadari betapa seringnya isu ini terjadi di sekitar mereka. “Kita perlu bercakap-cakap, berbagi cerita, dan saling mendukung agar orang-orang bisa lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan,” ungkap seorang aktivis perempuan.
Masyarakat diharapkan dapat lebih proaktif dalam mendukung korban kekerasan dan mengenali bahwa kekerasan dalam hubungan adalah masalah serius. “Edukasi tentang hubungan yang sehat mulai dari keluarga harus diprioritaskan,” tambah aktivis tersebut.
Dengan cara ini, diharapkan lebih banyak orang akan teredukasi tentang pentingnya menjaga diri dari hubungan yang tidak sehat. “Kami harus menciptakan lingkungan yang aman, di mana setiap orang bisa berbicara tanpa rasa takut,” ucapnya.
Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Meskipun IN berjuang dengan trauma dan rasa takut, dia tetap optimis akan masa depannya. “Saya ingin membangun kembali hidup saya dan membantu orang lain yang mungkin berada dalam posisi serupa,” ujarnya. Harapan ini menjadi pendorong bagi IN untuk terus maju dan tidak menyerah pada masa lalunya.
Dia mungkin tidak dapat menghapus semua rasa sakit, tetapi tekad untuk berjuang menjadi lebih kuat adalah hal terpenting. “Saya ingin memanfaatkan pengalaman ini untuk berbagi dengan orang lain bahwa kekerasan tidak boleh ditoleransi,” kata IN, menegaskan pentingnya berbagi pengalaman.
Dari sini, kita semua diharapkan dapat belajar bahwa selalu ada harapan dan jalan menuju pemulihan. “Mari bersama kita lawan kekerasan dan bangun masyarakat yang saling mendukung,” tambahnya, menciptakan pesan positif bagi semua yang terlibat.
Penutup: Membangun Masa Depan yang Bebas dari Kekerasan
Kasus Abraham dan IN menjadi pengingat bahwa di balik setiap hubungan, terdapat tanggung jawab untuk menjaga satu sama lain. Kebangkitan suara para korban seperti IN sangat penting dalam menciptakan kesadaran sosial. “Kami tidak boleh biarkan kekerasan terus berlanjut,” tutupnya, menjadi simbol harapan bagi banyak perempuan yang mungkin terjebak dalam situasi yang sama.
Semoga setiap langkah menuju kesadaran dan perubahan ini dapat menginspirasi kita semua untuk melakukan sesuatu yang berarti demi masa depan yang lebih baik bagi setiap individu.

















