Oleh: PixelScribe | 14 Juni 2025
Di negeri yang menjadikan kebebasan berekspresi sebagai mata uang politik, drama antara Elon Musk dan Donald Trump bukan sekadar perseteruan dua tokoh besar — ini adalah kisah bagaimana ambisi, kekuasaan, dan algoritma media sosial menjungkirbalikkan sebuah persekutuan menjadi konflik terbuka yang tak terhindarkan.
Dari “Bromance” Politik ke Bentrok Ego
Masih hangat dalam ingatan publik ketika Elon Musk, sang inovator lintas bidang, berdiri berdampingan dengan Donald Trump, Presiden AS yang terkenal dengan politik teatrikal dan retorika bombastis. Musk bukan hanya pendukung — ia adalah insider. Ditunjuk sebagai Kepala Department of Government Efficiency (DOGE), Musk menjadi simbol inovasi dan efisiensi dalam pemerintahan Trump yang ingin tampil modern dan futuristik.
Bahkan, Musk sempat meluncurkan situs TrumpWin2024.org — lengkap dengan kuis dan hadiah bagi pendukung kampanye Trump. Di titik ini, keduanya terlihat seperti pasangan politik yang tidak mungkin retak. Tapi, seperti kebanyakan hubungan yang dibangun di atas panggung kepentingan, fondasinya ternyata rapuh.
Titik Balik Bernama RUU BBB
Retaknya hubungan mereka bukan terjadi secara mendadak, melainkan akibat akumulasi perbedaan visi yang membesar. Titik baliknya muncul lewat RUU ambisius One Big Beautiful Bill (BBB) yang digadang-gadang akan menjadi tonggak efisiensi besar-besaran ala Trump.
Namun, alih-alih memuji, Musk melontarkan kritik pedas. Ia menyebut RUU tersebut “langkah mundur”, “penghambur anggaran”, dan bahkan menyindirnya dengan nama baru: Slim Ugly Bill. Kritik ini bukan hanya soal angka-angka fiskal — ini tentang Musk yang merasa semangat reformasi yang ia perjuangkan di DOGE telah dikhianati.
Di sinilah perbedaan ideologis bertabrakan dengan ego pribadi.
Media Sosial Sebagai Arena Perang
Musk kemudian mengubah platform X — yang dulu ia beli dengan ambisi sebagai penjaga kebebasan berbicara — menjadi medan tempur. Sindiran kepada Trump mencuat satu per satu, dari kebijakan hingga ranah pribadi. Puncaknya, Musk menyentil skandal Jeffrey Epstein, menyiratkan nama Trump terlibat.
Trump, tentu saja, membalas lewat platform pilihannya, Truth Social. Ia menyebut Musk sudah “gila”, mengancam mencabut subsidi untuk Tesla dan SpaceX, dan menyatakan “tidak akan pernah berbicara lagi dengannya”.
Dampaknya sangat nyata. Harga saham Tesla ambruk. Rencana misi SpaceX ke ISS sempat tertunda. Bahkan ada wacana Musk membentuk partai politik baru untuk mereka yang kecewa terhadap Demokrat dan Republik. Skenario House of Cards tampak seperti sandiwara kelas dua jika dibandingkan dengan babak ini.
Permintaan Maaf yang Terlambat?
Di tengah gempuran sentimen pasar dan tekanan publik, Musk tiba-tiba menarik rem darurat. Ia mengunggah permintaan maaf via X pada 11 Juni 2025, menyebut bahwa sebagian cuitannya tentang Trump “terlalu berlebihan”. Unggahan itu meledak: 80 juta views, 700 ribu lebih likes, tapi juga jutaan spekulasi.
Sebagian publik memuji sebagai langkah gentleman. Namun, banyak pula yang sinis: “Apakah ini ketulusan atau hanya kalkulasi bisnis?” Apalagi, unggahan Musk soal skandal Epstein sudah lebih dulu dihapus. Skeptisisme kian menguat.
Trump pun tak tergoda. Ia menegaskan kepada NBC News bahwa “hubungan kami sudah selesai.”
Bukan Hanya Perseteruan, Tapi Perang Narasi
Drama Musk vs Trump adalah studi kasus hidup tentang bagaimana tokoh besar menggunakan media sosial sebagai alat diplomasi, propaganda, dan bahkan sabotase. Ini bukan sekadar perang antara dua individu, tapi antara dua narasi: visi efisiensi vs visi spektakel, teknologi vs politik lama, Muskian vs Trumpian.
Keduanya punya jutaan pengikut, kekuatan finansial, dan ambisi yang tak mengenal batas. Ketika mereka bertabrakan, yang terguncang bukan hanya hubungan personal, tapi juga pasar, geopolitik, dan citra Amerika itu sendiri.
Akankah Damai?
Terlalu dini untuk menyebut ini akhir. Namun satu hal pasti: luka ego yang dalam jarang sembuh hanya dengan permintaan maaf. Apalagi bila luka itu ditayangkan secara publik, disukai ratusan ribu orang, dan diabadikan dalam bentuk screenshot.
Kini, dunia menunggu. Akankah Musk meluncurkan partai politik sendiri? Akankah Trump benar-benar mencabut semua bentuk dukungan kepada Tesla dan SpaceX? Atau apakah semua ini hanyalah teatrikal semata menjelang Pilpres 2028?
Dalam politik Amerika, segala kemungkinan bisa terjadi — termasuk “reuni palsu” demi kepentingan bersama. Tapi untuk saat ini, dua tokoh paling nyentrik di AS ini tampaknya memilih jalur konfrontasi. Dan seperti biasa, penontonnya adalah seluruh dunia.