Jakarta, 11 Agustus 2025 – Perbincangan soal royalti musik kembali memanas di Indonesia setelah beredar foto struk restoran dengan item “Royalti Musik/Lagu” senilai Rp29.140. Banyak konsumen mengaku terkejut melihat biaya tersebut, memicu debat di media sosial soal kewajiban membayar royalti bagi pelanggan.
Fenomena ini tak berdiri sendiri. Beberapa pekan sebelumnya, kasus besar menyangkut royalti musik menimpa jaringan kuliner populer Mie Gacoan di Bali, yang akhirnya berujung damai dengan pembayaran miliaran rupiah.
Awal Heboh: Mie Gacoan Bali dan Royalti Rp2,2 Miliar
Sengketa antara Mie Gacoan (PT Mitra Bali Sukses) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia menjadi titik awal sorotan publik pada Agustus 2025.
Mie Gacoan dilaporkan memutar musik di gerai secara komersial tanpa membayar royalti sesuai aturan Undang-Undang Hak Cipta. Setelah melalui proses mediasi, kedua pihak sepakat berdamai pada 8 Agustus 2025 di hadapan Menteri Hukum dan HAM. Nilai kesepakatan yang dibayar Mie Gacoan mencapai Rp2,2 miliar untuk periode pemakaian musik hingga Desember 2025.
Kasus ini menjadi preseden penting, menegaskan bahwa usaha kuliner yang memutar musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui lembaga resmi.
Gelombang Kedua: Struk Restoran dengan Biaya Royalti
Hanya berselang beberapa hari, publik kembali dihebohkan dengan foto struk restoran yang memuat biaya tambahan royalti musik Rp29.140. Foto tersebut menyebar cepat di media sosial, memicu pertanyaan apakah pelanggan kini harus membayar langsung royalti setiap kali makan di restoran.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) langsung memberikan klarifikasi. Mereka menegaskan bahwa pencantuman biaya royalti di struk bukanlah praktik umum. Sesuai aturan, pembayaran royalti merupakan tanggung jawab pengelola usaha dan biasanya sudah termasuk dalam harga menu, bukan ditagihkan terpisah kepada pelanggan.
Aturan Royalti Musik di Indonesia
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, setiap pihak yang memutar atau menyiarkan lagu secara komersial wajib membayar royalti melalui LMKN atau lembaga sejenis.
Tarif royalti ditentukan berdasarkan kapasitas tempat, jumlah kursi, hingga durasi pemutaran musik, lalu disepakati bersama antara pelaku usaha dan lembaga pengelola hak cipta.
Pelanggan restoran tidak memiliki kewajiban membayar royalti secara langsung. Kewajiban tersebut dibebankan kepada pengelola usaha sebagai bagian dari biaya operasional.
Perspektif Perlindungan Konsumen
Organisasi perlindungan konsumen mengingatkan bahwa menagihkan biaya royalti langsung ke pelanggan tanpa penjelasan jelas berpotensi melanggar prinsip keterbukaan informasi. Konsumen datang untuk membeli makanan dan minuman, sementara musik yang diputar adalah bagian dari layanan tambahan yang sudah seharusnya dibiayai oleh pihak usaha.
Sorotan terhadap Lembaga Pengelola
Kasus Mie Gacoan dan viralnya struk restoran menambah tekanan bagi lembaga pengelola royalti untuk lebih transparan. Beberapa musisi senior mengkritik mekanisme penarikan yang dinilai kurang ramah dan tidak dipahami publik, sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
Dampak bagi Industri Kuliner
- Restoran Lebih Hati-Hati – Banyak pengusaha mulai mengevaluasi kebijakan musik di gerai mereka.
- Muncul Tren Restoran Tanpa Musik – Demi menghindari kewajiban royalti dan potensi polemik.
- Kesadaran Hukum Meningkat – Pelaku usaha semakin memahami bahwa royalti musik adalah kewajiban hukum, bukan sekadar pilihan.
Kesimpulan
Kontroversi royalti musik tahun ini menjadi pelajaran bagi industri kuliner dan masyarakat luas. Dari kasus besar Mie Gacoan hingga viralnya tagihan Rp29 ribu di struk restoran, semuanya menegaskan pentingnya memahami dan mengelola hak cipta secara benar.
Transparansi tetap diperlukan, namun harus disertai edukasi publik agar tidak menimbulkan kebingungan atau kesan membebani pelanggan.