Kita tumbuh mengenal 5 Love Languages dari Gary Chapman—Words of Affirmation, Acts of Service, Receiving Gifts, Quality Time, dan Physical Touch. Tapi dunia berubah. Cinta tak lagi hanya soal pelukan dan kata-kata manis. Di zaman digital, cepat, dan seringkali sunyi, cara orang memberi dan menerima cinta juga berkembang.
Maka lahirlah perluasan konsep ini: 8 Love Languages. Ini bukan sekadar tambahan, tapi refleksi dari cara baru manusia mencari makna dalam hubungan baik romantis, pertemanan, maupun keluarga. Yuk, kita bedah satu per satu.
1. Words of Affirmation (Kata-Kata Penguatan)
Bahasa cinta klasik yang masih kuat. Orang dengan love language ini butuh diakui. Bukan sekadar “aku cinta kamu”, tapi juga “aku bangga sama kamu”, “kamu keren banget tadi”. Kata-kata bisa jadi pelukan verbal. Bagi mereka, kalimat yang tepat bisa menyelamatkan hari yang buruk.
Modern twist: DM manis yang random, voice note penuh pujian, atau bahkan caption Instagram yang men-tag pasangannya dengan bangga.
2. Acts of Service (Tindakan Membantu)
Cinta bukan cuma omong kosong. Orang dengan bahasa cinta ini percaya bahwa cinta = aksi. Dibikinin teh waktu sakit, dibantuin kerjaan tanpa diminta, atau ditawari bantu beresin tugas rumah. It’s about showing, not telling.
Modern twist: Bantu fixing laptop pasangan yang ngadat atau bikinin Google Docs untuk presentasi dia.
3. Receiving Gifts (Menerima Hadiah)
Jangan salah paham. Ini bukan tentang materialisme, tapi tentang niat. Hadiah kecil tapi thoughtful—makanan kesukaan, kaos yang nyambung sama hobi, atau bahkan bunga dadakan. Itu semua adalah simbol “aku mikirin kamu.”
Modern twist: Kirimin GoFood saat dia lembur. Atau beli NFT yang punya makna khusus bagi kalian.
4. Quality Time (Waktu Berkualitas)
Bukan soal lama, tapi soal hadir penuh. Fokus. Matikan HP, duduk bareng, ngobrol dalam, nonton film bareng tanpa main HP. Mereka butuh atensi, bukan distraksi.
Modern twist: Video call sambil makan malam bareng jarak jauh, atau nonton bareng lewat fitur watch party.
5. Physical Touch (Sentuhan Fisik)
Untuk sebagian orang, pelukan bisa mengungkapkan lebih dari 1000 kata. Sentuhan adalah cara mereka merasa terhubung dan dicintai. Entah itu gandengan, pelukan dari belakang, atau bahkan duduk berdampingan.
Modern twist: Long-distance relationship? Mereka mungkin paling tersiksa. Tapi teknologi seperti VR dan wearable haptic devices bisa mulai menjembatani jarak.
6. Shared Experiences (Pengalaman Bersama)
Bahasa cinta modern ini muncul dari generasi yang haus makna. Cinta itu berproses bareng. Traveling, ikut kelas bareng, atau memulai bisnis kecil berdua. Orang dengan bahasa ini merasa paling hidup saat tumbuh bersama seseorang.
Modern twist: Bikin podcast berdua, main game bareng setiap malam, atau sama-sama ngerjain side project passion.
7. Digital Affection (Kasih Sayang Digital)
Yes, welcome to Gen Z’s primary love language. Reaction emoji, komentar manis, story repost, atau postingan couple aesthetic. Bagi mereka, ekspresi cinta juga berarti eksistensi di ruang digital.
Modern twist: Kalau kamu nggak pernah muncul di story-nya, kamu mungkin bukan siapa-siapa. Hehe, sedikit satir, tapi real.
8. Emotional Check-In (Konektivitas Emosional)
Bahasa cinta ini tentang didengar. Bukan cuma hadir secara fisik, tapi terlibat emosional. Mereka ingin pasangannya menanyakan, “Gimana kabarmu hari ini?” dan mendengar jawabannya sampai tuntas.
Modern twist: Kirim Google Form berisi pertanyaan reflektif buat saling update emosi, atau rutin bikin jadwal deep talk mingguan.
Kenapa 8? Kenapa Sekarang?
Karena cinta bukan entitas statis. Dunia berubah, dan manusia adaptif. Cinta pun ikut berevolusi. Tambahan tiga love language ini muncul bukan untuk menggantikan yang lama, tapi melengkapi. Mereka adalah respons atas:
- Hidup serba cepat dan digital
- Kesepian massal meski saling terkoneksi
- Generasi yang makin peka terhadap keotentikan dan growth
Penutup: Temukan, Pahami, Tunjukkan
Setiap orang punya love language dominan, tapi bisa punya campuran. Kuncinya: belajar membaca orang lain, bukan sekadar mencintai dengan cara yang kita nyaman.
Karena bahasa cinta bukan soal “aku”, tapi soal “kita”.